Hal itulah yang kini dialami seorang
ibu usia 70 tahun. Namanya Atikah. Di rumahnya yang sederhana,
ia dan keluarga
lebih banyak berbaring daripada beraktivitas layaknya keluarga besar.
Mak Atikah bersyukur bisa menikah
dengan seorang suami yang alhamdulillah baik dan rajin. Walau hanya sebagai
pencari rumput, Mak Atikah begitu menghargai pekerjaan yang dilakoni suaminya. Bahkan, tidak jarang, ia membantu sang
suami ikut mencari rumput.
Beberapa
bulan setelah menikah, tepatnya di tahun 1957, Allah mengaruniai Mak Atikah
dengan seorang putera. Ia dan suami begitu bahagia. Ia kasih nama sang
putera tercinta dengan nama Entang.
Awalnya, Entang tumbuh normal.
Biasa-biasa saja layaknya anak-anak lain. Baru terasa beda ketika anak sulung
itu berusia 10 tahun. Waktu itu,
Entang sakit panas. Bagi Mak Atikah dan suami, anak sakit panas sudah
menjadi hal biasa. Apalagi tinggal di daerah pedesaan yang jauh dari pelayanan
medis. Entang pun dibiarkan sakit panas tanpa obat.
Panas yang diderita sang anak
ternyata kian hebat. Tiba-tiba, Entang merasakan kalau kakinya tidak bisa
digerakkan. Setelah dicoba beberapa kali, kaki Entang memang benar-benar
lumpuh.
Musibah
ini ternyata tidak berhenti hanya di si sulung. Tiga adik Entang pun punya
gejala sakit yang sama dengan sang kakak. Dan semuanya sakit di usia SD atau
kira-kira antara 7 sampai 10 tahun. Satu per satu, anak-anak Mak Atikah
menderita lumpuh.
Usut
punya usut, ternyata anak-anak yang tinggal di Desa Cileunca, Kecamatan Bojong,
Purwakarta itu sebagian besar terserang penyakit polio. Tapi, semuanya sudah
serba terlambat. Lagi pula, apa yang bisa dilakukan Mak Atikah dengan suami
yang hanya seorang pencari rumput.
Sejak
itu, Mak Atikah mengurus empat anaknya sekaligus seorang diri. Dengan sarana
hidup yang begitu sederhana, bahkan sangat kekurangan, keluarga ini mengarungi
hidup puluhan tahun dengan kesibukan anak-anak yang lumpuh.
Ujian Allah buat Mak Atikah ternyata
tidak berhenti sampai di situ. Di tahun 90-an, giliran suami Bu Atikah yang
mengalami musibah. Saat mencari rumput, Pak Didin terjatuh. Orang-orang sekitar
pun menggotong Pak Didin pulang. Dan sejak itu, Pak Didin tidak bisa lagi
menggerakkan kaki dan tangannya. Ia cuma bisa berbaring.
Lalu, bagaimana dengan pemasukan
keluarga kalau sang suami tidak lagi bisa berkerja? Bu Atikah pun tidak mau
diam. Kalau selama ini ia hanya bisa mengurus anak-anak di rumah, sejak itu,
ibu yang waktu itu berusia hampir enam puluh tahun pun menggantikan sang suami
dengan pekerjaan yang sama. Di usianya yang begitu lanjut, Bu Atikah mengais
rezeki dengan mencari rumput.
Sehari-hari, ia berangkat pagi
menuju tanah-tanah kosong yang dipenuhi rumput. Ia kumpulkan rumput-rumput itu
dengan sebilah arit, kemudian dibawa ke pemesan. Tidak sampai sepuluh ribu
rupiah ia kumpulkan per hari dari mencari rumput. Dan itu, ia gunakan untuk
mengepulkan asap dapur rumahnya. Hanya sekadar menyambung hidup.
Di bulan Mei tahun ini, sang suami
yang hanya bisa berbaring dipanggil Allah untuk selamanya. Kini, tinggal Mak
Atikah yang mengurus keempat anaknya yang tidak juga sembuh dari lumpuh.
Allah menguji hambaNya dengan sesuatu yang mungkin sulit untuk dicerna pikiran orang lain. Subhanallah. (saad/mnh) (Sumber: Eramuslim)
Allah menguji hambaNya dengan sesuatu yang mungkin sulit untuk dicerna pikiran orang lain. Subhanallah. (saad/mnh) (Sumber: Eramuslim)
0 komentar:
Post a Comment