Monday, 24 March 2014

Agar Tidak Menjadi Orang Yang Merugi



Pada edisi yang lalu kita telah membahas tentang empat perkara yang wajib diketahui oleh kita sebagai seorang Muslim. Bagaimana, masih ingat? Fityan menganjurkan kepada sahabat untuk membacanya kembali.Selain materinya penting, juga ada kaitannya dengan pembahasan yang akan diuraikan di edisi keenam ini.

            Nah, Sahabat Fityan! Kita akan sedikit me-review (mengulang) pembahasan yang lalu bahwa ada empat perkara yang wajib diketahui oleh sahabat muslim:

  1. Al-’Ilmu, Yakni: ma’rifatulloh (mengenal Alloh), Ma’rifatun Nabi (mengenal Nabi), dan Ma’rifatu ad-diinil Islam (Mengenal agama Islam).
  2. Al-’Amalu bihi (beramal dengannya)
  3. Ad Da’watu Ilaihi (berdakwah di atasnya)
  4. Ash-Shobru ’alal ada Fiihi (sabar terhadap rintangan yang ada di dalamnya)

            Kempat perkara tersebut adalah merupakan cermin dari salah satu surat yang telah kita hafal dan kita dengar, sering dibaca oleh seorang imam ketika di dalam shalat. Surat tersebut adalah:

            ”Demi masa, sesungguhnya manusia itu tetap berada dalam keadaan merugi. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih, serta saling nasehat-menasehati dalam kebenaran dan kesabaran.” (QS. Al ’Ashr: 1-4)

            Inilah surat yang menjadi dalil (dasar pijakan) oleh para ulama dalam menetapkan keempat perkara di atas. Mereka menjelaskan bahwasanya Alloh ta’ala telah bersumpah dalam surat tersebut dengan ’masa’ yang di dalamnya terjadi peristiwa yang baik maupun yang buruk. Allah ta’ala bersumpah dengan masa bahwa setiap manusia pasti merugi.
            Kemudian, di dalam surat Al ‘Ashr tersebut telah ditegasan bahwa manusia selama hidupnya tetap dalam keadaan merugi, tiada guna di masa hidupnya, meskipun banyak harta dan anak, serta kedudukan yang sangat terhormat sekalipun, kecuali siapa yang memiliki 4 sifat ini:
  1. Iman, yang meliputi setiap keyakinan yang benar dan ilmu yang bermanfaat yang mendekatkan kepada Alloh ta’ala.
  2. Amal sholih, yaitu semua perkataan dan perbuatan yang dapat mendekatkan diri kita kepada Alloh. Syaratnya, sahabat melakukan amal perbuatan tersebut dengan ikhlas untuk mencari ridho Alloh dan mengikuti Sunnah Rosululloh sholallohu ’alaihi wasallam.
  3. Saling berwasiat untuk menegakkan kebenaran, artinya saling menasihati dan menganjurkan untuk melaksanakan kebaikan.
  4. Saling menasihati untuk menetapi kesabaran, artinya saling menasehati untuk bersabar dalam melaksanakan perintah Alloh, meninggalkan hal-hal yang diharamkan oleh Alloh, dan menanggung takdir-takdir Alloh.

Bagi sahabat yang ingin mendalami lagi tentang kandungan surat Al ’Ashr, marilah kita simak beberapa penjelasan berikut ini....
Sahabat Rosululloh sholalohu ’alaihi wasallam bernama Abdulloh bin Abbas Rodhiallohu ’anhu yang dikenal sebagai salah satu ahli tafsir pada masa Rosululloh menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ’Al ’Ashr adalah waktu. Seorang mufasir menjelaskan bahwa Alloh ta’ala bersumpah dengan waktu karena di dalam waktu terdapat beberapa keajaiban; terdapat kesenangan dan kesusahan, kesehatan dan rasa sakit, serta kekayaan dan kemiskinan. Juga karena nilai dan berharganya usia serta waktu tidak bisa dinilai dengan apapun.
Tidak ketinggalan, seorang ulama madzhab yang sangat masyhur di dunia Islam bernama Imam Syafi’i Rohimahulloh ikut memberikan pernyataan akan keagungan surat Al ’Ashr. Dengan kedalaman ilmunya, Imam Syafi’i berkata:
لَوْماَ أَنْزَلَ اللهُ حُجَّةً عَلىَ خَلْقِهِ إِلاَّ هَذِِهِ السُُّوْرَةَ لَكَفَتْهُمْ
            “Seandainya Alloh tidak menurunkan hujjah bagi manusia selain surat ini,niscaya telah cukup bagi mereka”

            Benarlah yang dikatakan oleh Imam Syafi’i bahwa surat tersebut bisa menjadi hujjah kepada manusia untuk mendorong berpegang teguh kepada keimanan, amal sholih, dakwah kepada Alloh, dan kesabaran di atas itu semua.
            Tapi jangan dipahami bahwa surat ini cukup bagi manusia untuk menjelaskan seluruh isi syari’at, karena ucapan beliau, “Seandainya Alloh tidak menurunkan hujjah bagi manusia selain surat ini, niscaya telah cukup bagi mereka”, pengertiannya adalah jika seseorang yang memiliki akal dan pikiran sensitif mendengar dan membaca surat Al ‘Ashr tersebut, pasti berusaha untuk menyelamatkan diri dari kerugian, dengan berusaha memiliki empat sifat ini; yakni iman, amal sholih, saling menasihati untuk melaksanakan kebenaran, dan saling menasihati untuk menetapi kesabaran.

UNGKAPAN “DASAR ZAMAN SIAL!” BOLEH NGGAK?
             
            Di dalam kitab Tafsirnya, Ibnu Katsir menjelaskan bahwa orang-orang jahiliyah, kalau mereka tertimpa suatu musibah, bencana atau malapetaka, mereka mencaci masa. Maka Alloh Ta’ala melarang hal tersebut, karena yang menciptakan dan mengatur masa adalah Alloh Subahanahu wa ta’ala. Sedangkan menghina pekerjaan seseorang, berarti menghina orang yang melakukan pekerjaan itu. Dengan demikian, mencaci masa berarti mencela dan menyakiti Alloh sebagai Pencipta dan Pengatur masa.
            Diriwayatkan dalam Shahih Al Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairoh Rodhiallohu ‘anhu, bahwa Nabi Sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda:
قاَلَ اللهُ تَعاَلىَ: ((يُؤْذِيْنِيْ ابْنُ آدَمَ يَسُبُّ اَلْدَهْرُ أُقَلِّبُ الَّيْلَ وَالنَّهَارَ))
            “Alloh Ta’ala berfirman: ‘Manusia menyakiti Aku: dia mencaci masa, padahal aku adalah Pemilik dan Pengatur masa, Aku-lah yang mengatur malam dan siang menjadi silih berganti.”

            Orang-orang Kejawen (berdasarkan perhitungan  “KITAB PRIMBON”) memiliki perhitungan dalam menetapkan hari dan tanggal dalam melakukan acara-acara khusus; Seperti acara pernikahan, buat rumah, memilih jodoh, dan banyak lagi. Mereka meyakini adanya hari-hari baik dan hari-hari buruk, ada masa baik ada masa buruk, tanpa landasan syar’i. Maka, secara terselubung mereka telah mencela masa dan menganggap adanya “hari sial”,, “tanggal sial”, “Hari gak baik”, dan sebutan semisalnya.
            Sering kita temukan beberapa ungkapan yang mengarah kepada celaan terhadap masa, seperti sebagian orang ketika ditimpa kesukaran hidup, bencana atau musibah, mereka mengatakan “DASAR ZAMAN SIAL!”. Maka ungkapan-ungkapan seperti ini diharamkan di dalam agama.

MASA DAN PENGANUT MATERIALISME
            Ada suatu rahasia dan perkara besar yang Alloh isyaratkan tentang “masa” dengan sumpahNya, karena di dalamnyalah akan adanya peristiwa-peristiwa besar; yang baik dan buruk. Di dalamnya akan adanya perubahan alam semesta, peristiwa menang dan tumbangnya suatu peradaban, persitiwa dimana seseorang dapat merubah nasib dan keadaan, dan sebagai isyarat akan adanya penentuan bahagia dan sengsaranya manusia. Perhatikanlah hadits berikut:
باَدِرُ بِا لْأَعْماَلِ فَسَتَكُوْنُ فِتَنٌ كَقِطَعِ الَّيْلِ الْمُظْلِمِ يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِناً وَيُمْسىِ كاَفِراً وَيُمْسىِ مُؤْمِناً وَيُصْبِحُ كاَفِراً يَبِيْعُ أَحَدَهُمْ دِيْنَهُ بِعَرَضٍ مِنَ الدُّنْياَ
            “Bersegeralah berbuat amal shalih untuk menghadapi terjadinya fitnah seperti belahan malam yang gelap gulita, bisa jadi seseorang diwaktu pagi masih dalam keadaan mukmin lalu di sore harinya menjadi kafir, dan bisa jadi seseorang yang diwaktu sorenya dalam keadaan mukmin namun diwaktu paginya menjadi kafir, karena sebagian mereka menjual diennya untuk kepentingan dan tujuan dunia.”(HR. Tirmidzi No. 2195, dishahihkan oleh Al Albani)

            Di dalam hadits ini digambarkan bahwa ada manusia yang begitu mudah menukar dan menjual agamanya hanya untuk kepentingan dan tujuan dunia. Lihat saja faktanya, hanya karena himpitan ekonomi mereka menukar agama mereka dengan “SATU DUS SUPERMI” saja. Benar kan??? Hal ini sangatlah berkaitan dengan sikap mereka terhadap waktu; Jika waktu mereka gunakan untuk mengejar sesuatu yang bersifat MATERI, yang dikejar tidak lebih selain untuk memenuhi kebutuhan perut dan ‘di bawah’ perut, maka fakta tersebut sangatlah wajar, karena mereka adalah kaum Ad-Dahriyah (materalis). Bisa jadi, Mereka ini memiliki pandangan yang sama dengan suatu kaum yang Alloh gambarkan di dalam Al Qur’an:

            “Dan mereka berkata: ‘Kehidupan ini tidak lain hanya kehidupan di dunia ini saja, kita mati dan kita hidup, dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa.’”(QS. Al Jatsiyah:24)

            Mereka tidak memanfaatkan waktu untuk mengenal diri mereka sendiri. Mereka tidak tahu dan tidak mau tahu dari mana mereka datang, kenapa mereka datang, dan kemana mereka akan dikembalikan. Mereka tidak mau memikirkan hakikat kehidupan dunia dan tidak merenungi penciptaan alam semesta. Karena itulah mereka tidak mau peduli pada agama.
           
Sahabat Al Fityan...
Alloh memberikan umur yang panjang kepada kita agar berfikir dan penuh perhatian, di samping sebagai kesempatan untuk beriman dan beramal sholeh. Karena waktu yang kita sia-siakan akan menjadi bumerang bagi diri kita sendiri kelak di hari akhir. Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Qotadah:
”Ketahuilah bahwa umur panjang itu akan menjadi saksi, maka berlindunglah kepada Alloh agar umur anda yang panjang itu tidak menyebabkan anda tercela.”
            Nikmat waktu adalah salah satu dari pada nikmat-nikmat Alloh yang agung dan pemberian yang besar, namun kebanyakan manusia melalaikan akan nikmat Alloh tersebut, sebagaimana yang disabdakan Rosululloh sholallohu ’alaihi wasallam:
                                                         
نِغْمَتاَنِ مَغْمُوْنٌ فِيْهِماَ كَثِيْرٌ مِنَ الناَّسِ الصِِّحَةُ وَالْفَرَاغ
            “Dua kenikmatan yang banyak dilalaikan oleh manusia; yaitu kesehatan dan kesempatan.” (HR. Bukhari 11/229, Tirmidzi 4/550, Ibnu Majah 2/1396)

            Maka sungguh merugilah bagi siapa saja di antara manusia yang menyia-nyiakan waktu hidupnya dengan kemaksiatan, sungguh merugilah yang telah menyia-nyiakan waktunya tidak dengan ketaatan kepada Alloh ta’ala dengan banyak beramal sholih. (Ridwan)

0 komentar: