Pada edisi yang lalu kita telah membahas tentang empat perkara yang wajib
diketahui oleh kita sebagai seorang Muslim. Bagaimana, masih ingat? Fityan menganjurkan
kepada sahabat untuk membacanya kembali.Selain materinya penting, juga ada
kaitannya dengan pembahasan yang akan diuraikan di edisi keenam ini.
Nah, Sahabat Fityan! Kita
akan sedikit me-review (mengulang) pembahasan yang lalu bahwa ada empat
perkara yang wajib diketahui oleh sahabat muslim:
- Al-’Ilmu, Yakni: ma’rifatulloh (mengenal Alloh), Ma’rifatun Nabi (mengenal Nabi), dan Ma’rifatu ad-diinil Islam (Mengenal agama Islam).
- Al-’Amalu bihi (beramal dengannya)
- Ad Da’watu Ilaihi (berdakwah di atasnya)
- Ash-Shobru ’alal ada Fiihi (sabar terhadap rintangan yang ada di dalamnya)
Kempat perkara tersebut
adalah merupakan cermin dari salah satu surat yang telah kita hafal dan kita
dengar, sering dibaca oleh seorang imam ketika di dalam shalat. Surat tersebut
adalah:
”Demi masa, sesungguhnya
manusia itu tetap berada dalam keadaan merugi. Kecuali orang-orang yang beriman
dan beramal shalih, serta saling nasehat-menasehati dalam kebenaran dan
kesabaran.” (QS. Al ’Ashr: 1-4)
Inilah surat yang menjadi dalil (dasar pijakan) oleh para ulama dalam
menetapkan keempat perkara di atas. Mereka menjelaskan bahwasanya Alloh ta’ala
telah bersumpah dalam surat tersebut dengan ’masa’ yang di dalamnya terjadi
peristiwa yang baik maupun yang buruk. Allah ta’ala bersumpah dengan
masa bahwa setiap manusia pasti merugi.
Kemudian, di dalam surat Al ‘Ashr tersebut telah ditegasan bahwa manusia
selama hidupnya tetap dalam keadaan merugi, tiada guna di masa hidupnya,
meskipun banyak harta dan anak, serta kedudukan yang sangat terhormat
sekalipun, kecuali siapa yang memiliki 4 sifat ini:
- Iman, yang meliputi setiap keyakinan yang benar dan ilmu yang bermanfaat yang mendekatkan kepada Alloh ta’ala.
- Amal sholih, yaitu semua perkataan dan perbuatan yang dapat mendekatkan diri kita kepada Alloh. Syaratnya, sahabat melakukan amal perbuatan tersebut dengan ikhlas untuk mencari ridho Alloh dan mengikuti Sunnah Rosululloh sholallohu ’alaihi wasallam.
- Saling berwasiat untuk menegakkan kebenaran, artinya saling menasihati dan menganjurkan untuk melaksanakan kebaikan.
- Saling menasihati untuk menetapi kesabaran, artinya saling menasehati untuk bersabar dalam melaksanakan perintah Alloh, meninggalkan hal-hal yang diharamkan oleh Alloh, dan menanggung takdir-takdir Alloh.
Bagi sahabat yang ingin mendalami lagi tentang kandungan surat Al ’Ashr,
marilah kita simak beberapa penjelasan berikut ini....
Sahabat Rosululloh sholalohu ’alaihi wasallam bernama Abdulloh bin
Abbas Rodhiallohu ’anhu yang dikenal sebagai salah satu ahli tafsir pada
masa Rosululloh menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ’Al ’Ashr adalah
waktu. Seorang mufasir menjelaskan bahwa Alloh ta’ala bersumpah
dengan waktu karena di dalam waktu terdapat beberapa keajaiban; terdapat
kesenangan dan kesusahan, kesehatan dan rasa sakit, serta kekayaan dan
kemiskinan. Juga karena nilai dan berharganya usia serta waktu tidak bisa
dinilai dengan apapun.
Tidak ketinggalan, seorang ulama madzhab yang sangat masyhur di dunia Islam
bernama Imam Syafi’i Rohimahulloh ikut memberikan pernyataan akan
keagungan surat Al ’Ashr. Dengan kedalaman ilmunya, Imam Syafi’i berkata:
لَوْماَ أَنْزَلَ اللهُ حُجَّةً عَلىَ خَلْقِهِ إِلاَّ هَذِِهِ
السُُّوْرَةَ لَكَفَتْهُمْ
“Seandainya Alloh tidak menurunkan hujjah bagi manusia selain surat
ini,niscaya telah cukup bagi mereka”
Benarlah yang dikatakan oleh Imam Syafi’i bahwa surat tersebut bisa menjadi
hujjah kepada manusia untuk mendorong berpegang teguh kepada keimanan,
amal sholih, dakwah kepada Alloh, dan kesabaran di atas itu semua.
Tapi
jangan dipahami bahwa surat ini cukup bagi manusia untuk menjelaskan seluruh
isi syari’at, karena ucapan beliau, “Seandainya Alloh tidak menurunkan
hujjah bagi manusia selain surat ini, niscaya telah cukup bagi mereka”, pengertiannya
adalah jika seseorang yang memiliki akal dan pikiran sensitif mendengar dan membaca
surat Al ‘Ashr tersebut, pasti berusaha untuk menyelamatkan diri dari
kerugian, dengan berusaha memiliki empat sifat ini; yakni iman, amal sholih,
saling menasihati untuk melaksanakan kebenaran, dan saling menasihati untuk
menetapi kesabaran.
UNGKAPAN “DASAR ZAMAN SIAL!” BOLEH NGGAK?
Di dalam kitab Tafsirnya, Ibnu Katsir menjelaskan bahwa orang-orang
jahiliyah, kalau mereka tertimpa suatu musibah, bencana atau malapetaka, mereka
mencaci masa. Maka Alloh Ta’ala melarang hal tersebut, karena yang
menciptakan dan mengatur masa adalah Alloh Subahanahu wa ta’ala. Sedangkan
menghina pekerjaan seseorang, berarti menghina orang yang melakukan pekerjaan
itu. Dengan demikian, mencaci masa berarti mencela dan menyakiti Alloh sebagai
Pencipta dan Pengatur masa.
Diriwayatkan dalam Shahih
Al Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairoh Rodhiallohu ‘anhu, bahwa
Nabi Sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda:
قاَلَ اللهُ تَعاَلىَ: ((يُؤْذِيْنِيْ ابْنُ آدَمَ
يَسُبُّ اَلْدَهْرُ أُقَلِّبُ الَّيْلَ وَالنَّهَارَ))
“Alloh
Ta’ala berfirman: ‘Manusia menyakiti Aku: dia mencaci masa, padahal aku adalah
Pemilik dan Pengatur masa, Aku-lah yang mengatur malam dan siang menjadi silih
berganti.”
Orang-orang Kejawen (berdasarkan
perhitungan “KITAB PRIMBON”) memiliki
perhitungan dalam menetapkan hari dan tanggal dalam melakukan acara-acara
khusus; Seperti acara pernikahan, buat rumah, memilih jodoh, dan banyak lagi.
Mereka meyakini adanya hari-hari baik dan hari-hari buruk, ada masa baik ada
masa buruk, tanpa landasan syar’i. Maka, secara terselubung mereka telah
mencela masa dan menganggap adanya “hari sial”,, “tanggal sial”, “Hari gak
baik”, dan sebutan semisalnya.
Sering kita temukan
beberapa ungkapan yang mengarah kepada celaan terhadap masa, seperti sebagian
orang ketika ditimpa kesukaran hidup, bencana atau musibah, mereka mengatakan “DASAR
ZAMAN SIAL!”. Maka ungkapan-ungkapan seperti ini diharamkan di dalam agama.
MASA DAN PENGANUT MATERIALISME
Ada suatu rahasia dan
perkara besar yang Alloh isyaratkan tentang “masa” dengan sumpahNya, karena di
dalamnyalah akan adanya peristiwa-peristiwa besar; yang baik dan buruk. Di
dalamnya akan adanya perubahan alam semesta, peristiwa menang dan tumbangnya
suatu peradaban, persitiwa dimana seseorang dapat merubah nasib dan keadaan,
dan sebagai isyarat akan adanya penentuan bahagia dan sengsaranya manusia.
Perhatikanlah hadits berikut:
باَدِرُ بِا
لْأَعْماَلِ فَسَتَكُوْنُ فِتَنٌ كَقِطَعِ الَّيْلِ الْمُظْلِمِ يُصْبِحُ
الرَّجُلُ مُؤْمِناً وَيُمْسىِ كاَفِراً وَيُمْسىِ مُؤْمِناً وَيُصْبِحُ كاَفِراً
يَبِيْعُ أَحَدَهُمْ دِيْنَهُ بِعَرَضٍ مِنَ الدُّنْياَ
“Bersegeralah
berbuat amal shalih untuk menghadapi terjadinya fitnah seperti belahan malam
yang gelap gulita, bisa jadi seseorang diwaktu pagi masih dalam keadaan mukmin
lalu di sore harinya menjadi kafir, dan bisa jadi seseorang yang diwaktu
sorenya dalam keadaan mukmin namun diwaktu paginya menjadi kafir, karena
sebagian mereka menjual diennya untuk kepentingan dan tujuan dunia.”(HR.
Tirmidzi No. 2195, dishahihkan oleh Al Albani)
Di dalam hadits ini
digambarkan bahwa ada manusia yang begitu mudah menukar dan menjual agamanya
hanya untuk kepentingan dan tujuan dunia. Lihat saja faktanya, hanya karena
himpitan ekonomi mereka menukar agama mereka dengan “SATU DUS SUPERMI” saja. Benar
kan??? Hal ini sangatlah berkaitan dengan sikap mereka terhadap waktu; Jika waktu
mereka gunakan untuk mengejar sesuatu yang bersifat MATERI, yang dikejar tidak
lebih selain untuk memenuhi kebutuhan perut dan ‘di bawah’ perut, maka fakta
tersebut sangatlah wajar, karena mereka adalah kaum Ad-Dahriyah (materalis).
Bisa jadi, Mereka ini memiliki pandangan yang sama dengan suatu kaum yang Alloh
gambarkan di dalam Al Qur’an:
“Dan mereka berkata:
‘Kehidupan ini tidak lain hanya kehidupan di dunia ini saja, kita mati dan kita
hidup, dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa.’”(QS. Al
Jatsiyah:24)
Mereka tidak memanfaatkan
waktu untuk mengenal diri mereka sendiri. Mereka tidak tahu dan tidak mau tahu
dari mana mereka datang, kenapa mereka datang, dan kemana mereka akan dikembalikan.
Mereka tidak mau memikirkan hakikat kehidupan dunia dan tidak merenungi
penciptaan alam semesta. Karena itulah mereka tidak mau peduli pada agama.
Sahabat Al Fityan...
Alloh memberikan umur yang panjang kepada kita agar berfikir dan penuh
perhatian, di samping sebagai kesempatan untuk beriman dan beramal sholeh.
Karena waktu yang kita sia-siakan akan menjadi bumerang bagi diri kita sendiri
kelak di hari akhir. Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Qotadah:
”Ketahuilah bahwa umur panjang itu akan menjadi saksi, maka berlindunglah
kepada Alloh agar umur anda yang panjang itu tidak menyebabkan anda tercela.”
Nikmat waktu adalah salah
satu dari pada nikmat-nikmat Alloh yang agung dan pemberian yang besar, namun
kebanyakan manusia melalaikan akan nikmat Alloh tersebut, sebagaimana yang
disabdakan Rosululloh sholallohu ’alaihi wasallam:
نِغْمَتاَنِ مَغْمُوْنٌ فِيْهِماَ كَثِيْرٌ مِنَ الناَّسِ
الصِِّحَةُ وَالْفَرَاغ
“Dua kenikmatan yang banyak dilalaikan oleh manusia; yaitu kesehatan dan
kesempatan.” (HR. Bukhari 11/229, Tirmidzi 4/550, Ibnu Majah 2/1396)
Maka sungguh merugilah bagi
siapa saja di antara manusia yang menyia-nyiakan waktu hidupnya dengan
kemaksiatan, sungguh merugilah yang telah menyia-nyiakan waktunya tidak dengan
ketaatan kepada Alloh ta’ala dengan banyak beramal sholih. (Ridwan)
0 komentar:
Post a Comment