Monday, 24 March 2014

Keteguhan Seorang Bilal, Muadzin Pertama Umat Islam



Tiada hari tanpa harapan baru!
Begitulah yang dialami Bilal ketika mendengar desas-desus adanya seorang utusan Alloh, Muhammad Sholallohu ‘alaihi wasallam yang menyerukan kepada Islam. Yang menyerukan untuk meninggalkan semua bentuk kejahiliyahan dan penindasan terhadap yang lemah. Maka, setitik harapan muncul di dalam hatinya dan setitik harapan baru itu kemudian menjadi besar seiring dengan perkembangan Islam yang ia dengar.


            Sobat! Ente pada tau kagak sahabat Bilal?
Suatu nama yang tidak asing lagi di telinga kita. Nah, di edisi ini al-Fityan kepengen berbagi cerita kepada sobat semuanya tentang nama yang telah disebutkan di atas. Yuk mari kita simak cerita sosok sahabat Rosululloh ini...

Ketika Abu Bakar rodhiallohu ’anhu giat mendakwahkan Islam, selain mengajak orang-orang yang dekat dengannya dan rekannya, dia juga menyeru para budak. Dia seru Bilal bin Rabbah, yang antara mereka sudah terjalin persahabatan sejak beberapa waktu ketika mereka sedang berdagang ke Syams. Bilal bin Rabbah pun langsung memenuhi seruan Abu Bakar dan dia mengucapkan syahadat. Pada hari itu pula, Bilal bin Rabbah menemui Muhammad Sholallohu ‘alaihi wasallam dan berbaiat kepada beliau sholalloh ’alaihi wasallam, sehingga dia termasuk orang yang lebih dahulu masuk Islam.

            Arena perubahan dari sebuah pengharapan baru memasuki babak selanjutnya. Orang-orang kafir yang sangat fanatik terhadap berhalanya, mulai melakukan penyiksaan-penyiksaan terhadap orang-orang yang baru masuk Islam, untuk mengeluarkan mereka dari agamanya. Hal ini pun tidak luput dialami oleh Bilal bin Rabbah.

            Majikannya, Umayyah bin Khulaf setelah mengetahui Bilal telah memeluk Islam, menjadi mendidih hatinya. Pada awalnya, dia berusaha meredam amarahnya, dia berdialog dengan Bilal dan bersikap lemah-lembut, dengan harapan Bilal mau keluar dari Islam. Namun, persaksian Bilal sudah jelas, ”Aku bersaksi, bahwa tiada Ilah yang berhak disembah melainkan Alloh dan Muhammad ialah Rosululloh.”

            Mendengar jawaban yang tidak ia harapkan, Umayyah pun tak dapat lagi meredam amarahnya. Maka, mulailah penyiksaan dialamatkan kepada Bilal dengan berbagai macam siksaan. Jika tiba siang hari, ketika panas mencapai puncaknya, dia menyeretnya keluar lalu ditelentangkan di atas hamparan pasir yang panas, lalu sebongkah batu yang besar diletakkan di atas dadanya. Umayyah berkata, ”Kamu akan senantiasa seperti keadaan ini hingga kamu mati atau mengingkari Muhammad, hingga kamu menyembah Latta dan ’Uzza.
            Pedih dalam siksaan, Bilal malah bersenandung merdu, ”Ahad...ahad...ahad...” Bak petir di siang bolong menyambar telinga Umayyah mendengar ucapan itu. Kegilaannya serasa kambuh, kemarahannya memuncak. Maka, setiap kali Bilal mengucapkan kata-kata itu, Umayyah melancarkan pukulan dan makian.

            Sahabat, lihatlah! Siapakah pemenang dalam ’pergulatan’ itu? Seorang budak yang tetap dalam senyuman dan senandung, ’Ahad..ahad...ahad..”, yang menunjukkan ketegaran, ketenangan dan kesabaran, ataukah seorang majikan yang tidak bisa mengendalikan amarah, membabi buta dan tak tahu harus berbuat apa untuk mengalahkan keteguhannya? Dan apakah seorang Bilal yang tetap ’memaksakan’ kehendaknya itu lebih mulia, ataukah seorang Umayyah yang ’memohon’ kepada budak itu untuk tidak melantunkan senandungnya dan memintanya untuk mengucapkan nama-nama berhalanya? SubhanAlloh.

            Bilal bin Rabbah tetap pada pendiriannya, Umayyah pun akhirnya merasa lelah sendiri, hingga ia mengadukan persoalan itu kepada dedengkot kekufuran saat itu, Abu Jahal. Maka, penyiksaan pun berlanjut. Abu Jahal mengalungkan tali di leher Bilal bin Rabbah, lalu menyuruh anak-anak dan orang bodoh untuk menyeretnya antara dua gunung di Makkah. Dengan suara lirih, Bilal tetap bersenandung, ”Ahad...ahad...ahad...,” yang membuat kulit orang-orang kafir gemetar. Mereka tak mampu lagi memegang tali, lalu kelelahan dan lemas. Sekali lagi, Bilal memenangkan pertarungannya.

            Hingga suatu hari seorang Shahabat Nabi yang bernama Abu Bakar Ash Shiddiq memerdekakan Bilal bin Rabbah dengan membelinya seharga lima uqiyah. Dengan demikian tampillah Bilal dalam lingkungan orang-orang yang merdeka.

Keteguhannya Membawanya Kepada Kemuliaan....
            Maha suci Alloh yang telah memberikan keteguhan iman ke dalam hati seorang Bilal, seorang budak yang tiada nilainya di mata manusia pada masa Jahiliyyah, seakan menjadi barang tak berharga yang senantiasa diperjual-belikan, suatu kedudukan yang lebih rendah dari seorang pembantu di masa kita. Sebagai seorang budak, kehidupannya layaknya budak-budak lainnya, tak punya pengharapan untuk hari yang sedang dijalaninya, apalagi untuk hari esok. 

Akan tetapi, lihatlah wahai sahabat! Bilal pegang teguh prinsip hidup yang suatu saat akan menghantarkannya ke Syurga, lalu Alloh pun meneguhkan keimanannya. Lihatlah Sahabat! Ketika Alloh telah mensyariatkan shalat 5 waktu sebagai suatu amal yang wajib dikerjakan bagi kaum Muslimin, siapakah kiranya yang ’direkomendasikan” menjadi muadzin untuk shalat itu sebanyak lima kali dalam sehari semalam, yang suara takbir dan tahlilnya akan berkumandang ke seluruh pelosok? Ialah Bilal...yang telah menyerukan, ”Ahad...ahad...,” semenjak 13 tahun lalu siksaan membantai dan menyelai tubuhnya. Dialah Muadzin pertama dalam Islam yang menjadi pilihan Rosululloh sholallohu ‘alaihi wasallam untuk mempersatukan kaum Muslimin dalam satu pelukan kehangatan Islam, dalam ruku’ dan sujud tanpa ada perbedaan suku dan golongan, putih maupun maupun hitam.

            Semoga kita dapat mencontoh Bilal bin Rabbah, di saat Alloh, Rosululloh dan seluruh kaum Muslimin memuliakannya, ketika dirinya disebut sebagai pemimpin, namun, dengan air mata yang berlinang penuh ketawadhu’an, dia hanya berucap, ”Saya hanyalah seorang Habsyi, dan kemarin saya seorang budak belian.” Subhanalloh....(Ridwan)

0 komentar: