Warna
itu masih membekas segaris ejekan yang mennyulut perih di hati ini, menopang rasa
minder dengan senyum yang diukir oleh tintah isak sedihku. Inilah sejuta
kalimat yang tidak kumengerti makna di setiap angka itu. Aku pulaskan perkara
langkah yang memulas jerit di setiap jejak penaku yang berpetualang di lembar
harianku. Aku merasa bahwa aku adalah orang yang paling kaku dalam hidup ini, setiap
gerakku terbatas oleh dua lisan, yaitu lisan Allah Subhanahu Wa Ta’ala
(al-Qur'an) dan lisan Muhammad Sholallohu ‘alaihi wasallam (hadits); Dua
dzat yang berbeda, tapi bisa menyatukan manusia hanya dengan satu kata,
"LA ILAHA ILLALLAH MUHAMMADARROSULULLAH!"
"LA ILAHA ILLALLAH MUHAMMADARROSULULLAH!"
Aku
tak menggibah keduanya, bahkan karena keduanya fikiranku menyelaras setiap
ucapan manusia yang tidak bertanggung jawab, yang suara mereka tidak diharapkan
oleh telingaku. Seluas pandanganku belajar akan arti gurun kehidupan yang penuh
kaktus ujian, sedikit demi sedikit aku mulai mengenal sebuah tempat yang mulia,
yaitu "TELAGA TAHAJUD" yang berada di bumi sepertiga malam. Disinilah
aku menyantap hidangan kagum yang memukau setiap helai romaku, bahkan di tempat
inilah aku beristirahat dan terkadang tak sadarkan diri.
Perjalananku yang
menguras sadar di setiap detik nadiku, apalagi siang terik di pasir ocehan yang
membuat diri ini untuk tetap merayap di shirot fana ini, rambu syahadatku
membolak- balikkan kebencianku yang mengkarat menjadi pisau pasrah yang memutuskan
perdagangan amarah yang di adidaya oleh bangsa syetan, aku pernah marah tapi
cepat reda, bagaimana tidak rasa itu ada ?!, hinaan orang-orang di
sekelilingku(orang yang sadarnya mati suri), tidak lain membuatku menggerutu
nikmat Rabbku, aku tidak mau kata-kata mereka mengalahkan kata-kata Nabi_ku.
Tungku
sepertiga malam yang mendidhkan onak-onak yang ada di rempah fikiranku, menguap
dan meluluhkan istana kekangku, hati ini menjerit dan tersungkur, mengadukan
segala rasa masalah yang telah dicicipi dari pagi hingga malam melimpahkan air
mataku, semakin ku terhanyut bersama pelepah komunikasi itu, ternyata Allah
membawaku ke tepi tsaqofa yang mengharukan takjubku, di sana aku melihat sutra
nikmat yang banyak dari tuhanku, yang jarang sekali aku syukuri, ku diajarkan
untuk megenal sosok wanita yang berharga dalam hidupku (IBU), meskipun
kesederhanaan menjadi pagar takdir sementara. Sekembalinya aku dari bumi mulia
itu, kutancapkan kata seorang ibu yang selalu menghidupkan lilin semangatku, hingga
menerangiku di gelapnya ruang fikirku.
Inilah
tongkat misi yang selalu memapahku untuk menruskan perjuangan ayah, menerima
apa adanya, qona'ahnya yang mengisi lembar motivasiku, tak salah jika beliau
melahirkan santriwan mandiri seperti aku. Ketika ku terpaku pada kata selu
seorang ayah, gelisah rasanya, meskipun aku mencoba menghiburnya dengan senyum
prestasiku di sekolah, tetap saja risau menghalau, bahkan ketika ayah pergi, semua
tertumpu luluh dan merangkakkanku pada sikapku selama ini. Kusadari kerutan
pada wajah beliau yang penuh wibawa, apalagi ketika beliau menggusur debu-debu
yang berada di bawah kisatan tegarnya, aku menangis jika mengingat hal itu, karena
masa itu usiaku 13 tahun, kusapu air mataku, bahwa aku siap meneruskan
perjuanganmu!
Aku tak pernah mengantuk di sela perjuanganku, percikan semangatku kukobar dengan bensin Al-Qur'an dan Sunah. Mungkin hari ini aku baru mampu mengukir huruf alif saja, tapi aku yakin suatu saat nanti kitab usahaku akan merumuskan sejumlah hijaiyyah yang mengandung banyak makna. Aku lepaskan ikatan keluh yang merobek jadwal hidupku yang telah aku tulis di kertas azamku, aku tak boleh merekayasa bayang harapan keluarga di belakang tabir kemalasanku. Terus aku arungi keinginan yang menerjang ombak gengsiku, meski cacian kembali menguasai wilayah fikiranku, tapi tubuhku telah terbiasa dengan hal itu. Sampai akhirnya aku di dudukkan Allah di atas pemadani ilmu, yaitu sebuah lembaga bahasa arab dan tahfiz Al-Qur'an yang didonaturi oleh negara Dubai (Ma'had Sa'ad bin Abi Waqqosh).
Disinilah
aku menyimpulkan ketegaran warna putih yang menyimpan merah, jingga, kuning, hijau,
biru, nila dan ungu penderitaan.
By : Sepdiansyah AS ( Santri Ma'had Sa'ad bin Abi waqqosh,Palembang )
By : Sepdiansyah AS ( Santri Ma'had Sa'ad bin Abi waqqosh,Palembang )
0 komentar:
Post a Comment