Monday, 24 March 2014

Telaga Tahajjud



Warna itu masih membekas segaris ejekan yang mennyulut perih di hati ini, menopang rasa minder dengan senyum yang diukir oleh tintah isak sedihku. Inilah sejuta kalimat yang tidak kumengerti makna di setiap angka itu. Aku pulaskan perkara langkah yang memulas jerit di setiap jejak penaku yang berpetualang di lembar harianku. Aku merasa bahwa aku adalah orang yang paling kaku dalam hidup ini, setiap gerakku terbatas oleh dua lisan, yaitu lisan Allah Subhanahu Wa Ta’ala (al-Qur'an) dan lisan Muhammad Sholallohu ‘alaihi wasallam (hadits); Dua dzat yang berbeda, tapi bisa menyatukan manusia hanya dengan satu kata,
"LA ILAHA ILLALLAH MUHAMMADARROSULULLAH!"



Aku tak menggibah keduanya, bahkan karena keduanya fikiranku menyelaras setiap ucapan manusia yang tidak bertanggung jawab, yang suara mereka tidak diharapkan oleh telingaku. Seluas pandanganku belajar akan arti gurun kehidupan yang penuh kaktus ujian, sedikit demi sedikit aku mulai mengenal sebuah tempat yang mulia, yaitu "TELAGA TAHAJUD" yang berada di bumi sepertiga malam. Disinilah aku menyantap hidangan kagum yang memukau setiap helai romaku, bahkan di tempat inilah aku beristirahat dan terkadang tak sadarkan diri. 

Perjalananku yang menguras sadar di setiap detik nadiku, apalagi siang terik di pasir ocehan yang membuat diri ini untuk tetap merayap di shirot fana ini, rambu syahadatku membolak- balikkan kebencianku yang mengkarat menjadi pisau pasrah yang memutuskan perdagangan amarah yang di adidaya oleh bangsa syetan, aku pernah marah tapi cepat reda, bagaimana tidak rasa itu ada ?!, hinaan orang-orang di sekelilingku(orang yang sadarnya mati suri), tidak lain membuatku menggerutu nikmat Rabbku, aku tidak mau kata-kata mereka mengalahkan kata-kata Nabi_ku. 

Tungku sepertiga malam yang mendidhkan onak-onak yang ada di rempah fikiranku, menguap dan meluluhkan istana kekangku, hati ini menjerit dan tersungkur, mengadukan segala rasa masalah yang telah dicicipi dari pagi hingga malam melimpahkan air mataku, semakin ku terhanyut bersama pelepah komunikasi itu, ternyata Allah membawaku ke tepi tsaqofa yang mengharukan takjubku, di sana aku melihat sutra nikmat yang banyak dari tuhanku, yang jarang sekali aku syukuri, ku diajarkan untuk megenal sosok wanita yang berharga dalam hidupku (IBU), meskipun kesederhanaan menjadi pagar takdir sementara. Sekembalinya aku dari bumi mulia itu, kutancapkan kata seorang ibu yang selalu menghidupkan lilin semangatku, hingga menerangiku di gelapnya ruang fikirku.

Inilah tongkat misi yang selalu memapahku untuk menruskan perjuangan ayah, menerima apa adanya, qona'ahnya yang mengisi lembar motivasiku, tak salah jika beliau melahirkan santriwan mandiri seperti aku. Ketika ku terpaku pada kata selu seorang ayah, gelisah rasanya, meskipun aku mencoba menghiburnya dengan senyum prestasiku di sekolah, tetap saja risau menghalau, bahkan ketika ayah pergi, semua tertumpu luluh dan merangkakkanku pada sikapku selama ini. Kusadari kerutan pada wajah beliau yang penuh wibawa, apalagi ketika beliau menggusur debu-debu yang berada di bawah kisatan tegarnya, aku menangis jika mengingat hal itu, karena masa itu usiaku 13 tahun, kusapu air mataku, bahwa aku siap meneruskan perjuanganmu!

Aku tak pernah mengantuk di sela perjuanganku, percikan semangatku kukobar dengan bensin Al-Qur'an dan Sunah. Mungkin hari ini aku baru mampu mengukir huruf alif saja, tapi aku yakin suatu saat nanti kitab usahaku akan merumuskan sejumlah hijaiyyah yang mengandung banyak makna. Aku lepaskan ikatan keluh yang merobek jadwal hidupku yang telah aku tulis di kertas azamku, aku tak boleh merekayasa bayang harapan keluarga di belakang tabir kemalasanku. Terus aku arungi keinginan yang menerjang ombak gengsiku, meski cacian kembali menguasai wilayah fikiranku, tapi tubuhku telah terbiasa dengan hal itu. Sampai akhirnya aku di dudukkan Allah di atas pemadani ilmu, yaitu sebuah lembaga bahasa arab dan tahfiz Al-Qur'an yang didonaturi oleh negara Dubai (Ma'had Sa'ad bin Abi Waqqosh).

Disinilah aku menyimpulkan ketegaran warna putih yang menyimpan merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu penderitaan.


By : Sepdiansyah AS ( Santri Ma'had Sa'ad bin Abi waqqosh,Palembang )


0 komentar: